Rabu, 16 November 2011

Makna Hari Pahlawan

Negara Indonesia yang kita tempati tidak akan pernah terjadi seperti sekarang ini, tanpa sejarah masa lalu. Berkat jasa para putra terbaik bangsa (baca: pahlawan) yang telah gugur  mendahului kita di medan pertempuran, guna menyelamatkan kedaulatan negara ini. Demi merebut kemerdekaan dari tangan penjajahan. Masihkah kita mengenang peristiwa 10 Nopember 1945 sebagai salah satu hari bersejarah sekaligus berdarah  di Indonesia?.
Ketika pertempuran di Surabaya mencapai puncaknya pada 10 Nopember 1945 tersebut, dua orang perwira tinggi Sekutu, yaitu Brigadir Mallaby dan Brigadir Symons Loder tewas. Di samping itu, pimpinan teras Pemuda Republik Indonesia atau PRI (Ketua dan Wakil Ketuanya), juga gugur sebagai kusuma bangsa. Dalam kondisi seperti itu, dengan mengumandangkan kalimat thoyyibah Allahu Akbar, bersenjatakan apa adanya seperti  bambu runcing, dan semangat patriotisme, Bung Tomo sebagai salah seorang anggota pimpinan PRI segera memegang tampuk pimpinan.

Sejak saat itu, terdengarlah semboyan “Berontak terus”, Merdeka atau mati”, kemudian mulailah terdengar sebutan “Barisan pemberontak” yang selanjutnya menjelma menjadi Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI). Sesudah itu, PRI praktis sudah tidak terdengar dan tidak berfungsi lagi, sehingga kelompok-kelompok yang dulu tergabung dalam PRI segera menggabungkan diri pada BPRI sebagai laskar rakyat atau TKR sebagai alat keamanan rakyat. 

Dulu, ketika kita masih sekolah, dan tentu sampai sekarang masih dibiasakan, terutama setiap Senin pagi tidak akan pernah melewatkan acara seremonial upacara kenaikan Bendera Merah Putih yang salah satu mata acaranya  adalah mengheningkan cipta. Oleh pembina upacara, momen tersebut dimaksudkan untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur. Di samping itu, tentu saja dimanfaatkan untuk mendo’akan para pahlawan, semoga dilapangkan kuburnya, diterima amal kebaikannya, dan semoga diampuni dosa-dosa mereka.

Pertanyaan yang muncul kemudian, adalah apakah makna Hari Pahlawan itu masih terpatri dalam jiwa kita dan dalam jiwa generasi muda bangsa yang lahir jauh setelah tragedi 10 Nopember 1945 terjadi? Seorang penggagas besar kemanusiaan Paulo Freire mengatakan, manusia adalah yang bisa menetukan sejarahnya sendiri.

“……. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka megubah keadaan diri mereka sendiri,…….” (QS Ar-Ra’d, 11).

Bisakah kita menentukan sejarah kita sendiri? Saat ini, kita diperalat hanya sekadar untuk melengkapi sejarah orang-orang kerdil yang merasa besar dan menindas. Kita berharap, mudah-mudahan semangat Hari Pahlawan tetap menjadi alah satu pijakan kita dalam melangkah menuju masa depan Indonesia yang lebih baik ketimbang sekarang.

Hingga kini, 66 tahun sudah Negara Kesatuan Republik Indonesia Merdeka sejak 17 Agustus 1945. Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dr Radjiman Weyodiningrat, KH Agus Salim, dan pahlawan nasional lainnya telah memberikan suri tauladan kesantunan dalam berpolitik kepada kita. Perilaku yang sopan dan santun, kini mulai luntur, bukanlah sesuatu yang tiba-tiba, tetapi hasil proses adab dan budaya puluhan dan bahkan ratusan  tahun yang lalu. Selama 66 tahun Indonesia merdeka, mari kita memerdekaan diri kita sendiri. Pemerdekaan diri sendiri inilah, yang kelak menjadi modal besar untuk memerdekaan kita sebagai anggota masyarakat dan sebagai bangsa.

Pada 31 Oktober, penduduk dunia mencapai tujuh miliar. Sekitar 240 juta di antaranya, adalah  penduduk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, penduduk Indonesia yang hampir miskin terus bertambah selama tiga tahun terakhir. Pada 2009, misalnya, penduduk hampir miskin 20,66 juta jiwa (8,99%) dari total penduduk Indonesia. Sedangkan pada 2010, jumlahnya bertambah menjadi 22,9 juta jiwa (9,88%) dari total penduduk Indonesia. Sementara itu, pada 2011 jumlahnya bertambah 5 juta jiwa sehingga menjadi 27,12 juta jiwa (10,28%) dari total penduduk Indonesia. Guna meningkatkan kesejahteraan mereka, perjuangan kita mutlak mereka butuhkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar